Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Contact me on Twitter , Instagram , and Facebook
For Fast Respond, send email to 11.6837@stis.ac.id
English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Minggu, 03 April 2011

Selembar Surat dan Kenangan

A short story created by my sister, Sitti Rahmawati

Pagi ini terasa sepi. Aku berjalan ke sekolah sendirian. Biasanya, Egi temanku, menjemputku ke rumah. Tetapi, entah kenapa pagi ini dia tak datang. Aku menelponnya berkali-kali, tapi nomornya tak bisa dihubungi. Ya, apa boleh buat, aku terus memacu langkahku dengan tergesa-gesa. Sebentar lagi bel sekolah berbunyi.

 Saat tiba di jalan raya, hatiku menjadi cenat cenut. Banyak orang yang berlalulalang. Tambah lagi, mereka memacu kendaraan dengan kencang aku sulit menyebrang jalan. Akhirnya aku tetap menunggu jalan hingga sepi. Aku sempat berpikir untuk melewati jembatan penyebrangan, tetapi rasanya tidak mungkin. Karena, aku masih harus menempuh jarak lagi yang lumayan jauh dan memerlukan banyak waktu lagi. Aku harus jalan lagi sekitar..... (aku menengok angka di jam tangan mickey-ku)
“Hah ???!!! sudah mau jam tujuh! Bisa terlambat, nih!”
 Dengan memaksakan diri, aku segera menyebrang, walau aku tahu jalan di depanku masih sedikit ramai. Aku berlari kecil menyebrangi jalan raya besar yang terkenal rawan itu. Ketika setengah penyebrangan, tiba-tiba mobil dari arah kananku membunyikan klaksonnya 3 kali.
Teet,, teet,, teet !!!
Dan serentak, aku langsung berbalik ke arah suara klakson itu. Aku melihat mobil CR-V Silver bergerak ke arahku. Tiba-tiba,,,
Brukkk !!!
Aku terjatuh! Ternyata bamper mobil itu yang telah mendorongku hingga aku terduduk di atas aspal. Dengan tangan kiriku sebagai penopang, membuatku untuk tidak sampai tergeletak. Untungnya tabrakan kecil itu, tidak membuat luka yang berarti bagiku. Sementara aku masih tertopang dengan tangan kiriku, tiba-tiba seorang perempuan yang berseragam sama denganku, keluar dari pitu belakang mobil mahal itu. Ia melihatku, dan langsung membantuku untuk berdiri. Dan dengan segera, ia mengambil pergelangan tanganku untuk menaruh bawah lenganku di sekeliling belakang lehernya.
“kamu nggak papa ?” tanya perempuan itu yang aku rasa aku pernah mengenalnya. Aku masih belum menjawab, karena aku masih berusaha mengingat wajah familiar itu, namun tak berhasil.
Dia membawaku ke dalam mobilnya di kursi belakang. Dan segera menyuruh supirnya untuk jalan lagi. Akhirnya, dia mulai menanyakan keadaanku.
“Kamu nggak papa? Apanya yang sakit?” tanyanya cemas.
“Nggak kok, aku nggak papa. Cuma lecet nih, di lutut.”
Dengan sedikit membuka rokku, aku memperlihatkan lecet di lutut kiriku. Ada sedikit darah disitu.
“ya ampun.. sakit nggak?” ia bertanya sambil menyentuh lukaku yang terasa perih itu.
“auww ...!! sakit .!!”
“Sorry ya...”
Aku mengangguk sekali, walaupun aku tahu, lukaku masih terasa sangat perih. Dia pun segera berbalik untuk membuka tasnya dan mencari sesuatu. Yang pertama, ia mengeluarkan kapas putih. Dan berbalik lagi untuk mengambil yang lainnya.
“Huh,, untung aja ada.” Dia mendapatkan apa yang ia inginkan dan segera membuka bungkusnya. Setelah aku lihat, ternyata itu adalah hansaplast bintang kesukaanku. Yah, aku tahu itu cuma handsaplast biasa, tapi tak tahu kenapa aku suka dengan benda itu. Hansaplast bintang itu mirip seperti hansaplast kenangan masa kecilku dengan sahabatku. Putri namanya. Kami suka memakai hansaplast kapan aja, walau kami tahu kami tidak terluka sedikit pun. Hehehe..
“Nih, pake ini aja. Yah, aku nggak jamin sih, bisa cepat sembuh, tapi ini bisa menghindari infeksi, kok”
Aku mengambil darinya dan segera mengoperasi lukaku.
“Makasih ya.”
“Sama-sama.”
Sementara aku mengoperasi lukaku, ia memperkenalkan dirinya.
“hai, aku Putri,” ia menyebutkan nama yang sepertinya kau tahu dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Singkatnya ialah sahabat kecilku itu. Aku tak menyangka kami dapat bertemu lagi. Padahal, kami dulu terpisah. Karena Putri pindah ke Jogja untuk ikut ayahnya bekerja di sana. Sekarang dia tampak sangat berbeda. Dia terlihat sangat cantik, sampai pangling aku melihatnya. Ternyata, dia akan bersekolah di SMP Pelita Nusa Bangsa yang juga menjadi sekolahku. Aku sangat senang kami satu sekolah, dan mudah-mudahan kami jadi satu kelas. J
Tak berapa lama, kami sampai di SMP favorit di Jakarta itu. Kami segera turun dari mobil dan berjalan bersama ke dalam sekolah. Dan kriiiiingggggg ...!!!  bel masuk telah berbunyi. Kami semua berhamburan masuk ke kelas masing-masing. Aku berpisah dengan Putri, karena ia harus pergi ke ruang guru dulu untuk melapor. Untuk menanyakan dimana ruannga. Dan ketika aku, masuk kelas aku tidak melihat seseorang yang seharusnya ada di samping tempat dudukku, yaitu Egi. Kursi itu tampak sangat kosong jika tak ada Egi yang duduk di sana. Aku jadi khawatir, kemana Egi?
“Selamat pagi anak-anak!” seru bu Nita guru Bahasa Indonesia sekaligus wali kelas kami.
“Selamat pagi ibu guru.” Jawab kami semua.
“okey, sebelum kita memulai pelajaran hari ini, ibu akan memperkenalkan kalian pada teman baru kalian.”
“wow! Teman baru? Siapa bu ?” tanya Mira. Dia itu temanku yang menurutku sedikit cerewet. Dan itulah sebabnya tak ada siswa yang mau duduk dengannya.
“baiklah, ayo masuk nak.” Panggil bu Nita kepada seseorang yang ada di balik pintu. Seketika, seorang perempuan masuk ke kelas dari balik pintu. Ternyata dia adalah Putri. Dan aku gak nyangka, kami jadi satu kelas. Aku menjadi sangat senang. Setelah Putri memperkenalkan dirinya, Ibu Nita mempersilakannya untuk duduk di sampingku, tetapi aku menolak karena sebenarnya itu kan tempatnya Egi. Akhirnya, dia duduk di samping Mira. Yah, aku yakin pasti dia gak bakal tahan deh. Hehe...
“Baiklah anak-anak. Sekarang kita mulai pelajarannya buka hal. 83, ibu akan jelaskan” .......

Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 1. Itu artinya jam sekolah sudah berakhir. Kami semua segera pulang ke rumah masing-masing. Tetapi, ketika aku berjalan keluar, tiba-tiba Putri memanggilku. Ia mengajakku untuk pulang bersama. Karena aku tak suka untuk bilang tidak, jadi aku terima saja tawarannya itu. Kami pun naik CR-V silver miliknya dan pulang bersama. Setelah, ± 10 menit, aku sampai di depan rumah.
“Makasih ya, Put”
“Sama-sama. Oh ya, nanti sore kita ke toko buku ya, entar aku yang jemput.”
“Mmmm, okelah.”
“Oke, sampai jumpa nanti sore, bye ..!
“Bye.!”

Sore harinya .....

teet.. teet.. teett ,... !!
Suara klakson mobil terdengar dari depan rumahku. Dengan refleks aku membuka jendela kamarku dan menengok keluar. Itu adalah CR-V silver. Aku pun segera keluar kamar dan turun tangga menuju pintu keluar.
“Ma, aku pergi dulu ya.” Teriakku kepada mama yang berada di dapur. Aku segera membuka pintu dan keluar untuk menemui Putri yang sudah menungguku di sana.
“Hai Putri, udah lama ya nunggunya ?” tanya ku lewat jendela belakang mobil yang sedang terbuka dan melihat ke arah Putri yang duduk di belakang supir.
“ehh, nggak kok. Ayo masuk.’’
Dia membukakanku pintu, dan mempersilakan aku untuk masuk.
“ayo, Pak, kita berangkat.”
Akhirnya kita pergi ke toko buku.

3 hari kemudian...

Pagi yang cerah dan seperti biasa, hari ini aku akan pergi ke sekolah. Dan aku tak mendengar lagi panggilan dari Egi untuk menjemputku. Akhirnya aku hanya bersiap dan segera keluar dari pintu. Tiba-tiba ketika aku membuka pintu, Putri ada di luar yang sedang megepalkan tangan seakan ingin mengetuk pintu.
“eh, ada Putri. ada apa?” aku menengok ke belakang Putri. Ada CR-V silver di depan pagar. Sepertinya, aku tahu maksudnya.
“Mau berangkat bareng?”
“Sure. !”
“Okeh,,”
 “Ayo, kita berangkat.!” Aku menyusulnya dan segera masuk ke dalam mobil.
“Let’s go.!”
Di lampu lalu lintas, kami berhenti. Dan aku menengok ke kiri untuk membuka jendela. Di seberang sana ada seseorang yang sepertinya aku kenal. Setelah aku mencipitkan mataku, ternyata dia adalah Egi. Ia berada di dalam Bajaj. Aku terkejut sekaligus senang melihatnya kembali. Aku ingin ke sana dan memeluknya. Tetapi, ketika aku ingin membuka pintu, Putri menarikku dan akhirnya kesempatanku untuk bertemu sahabatku hilang. Tapi, sepertinya hari ini dia kembali masuk sekolah. Aku harap.
Tak berapa lama, kami melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai di pintu gerbang sekolah. Kami segera keluar dari mobil dan segera menuju ke kelas. Ketika, sampai di kelas, ternyata seseorang sudah duduk di samping kursiku. Egi kembali.
Aku senang sekali dia bersekolah lagi. Aku segera melangkah menuju ke arahnya. Aku menepuk bahunya, dan menyapanya.
“Egi!”
Dia berbalik kepadaku, dan menatapku. Ia sama sekali tak tampak senang melihatku lagi. Sepertinya dia sedang marah kepadaku. Tapi, marah kenapa? Perasaan, aku tak pernah berbuat salah kepadanya. Akhirnya, dia berdiri dan sepertinya mau pindah tempat duduk.
“Egi! Mau kemana? Ini kan tempat dudukmu!” aku menunjuk ke kursi di sebelah tempat dudukku. Dia pindah dan lebih memilih duduk di sebelah Mira dan meminta Putri untuk duduk di sampingku. Yang aku tahu selama ini Egi tidak suka duduk di samping Mira. Tapi, kenapa sekarang .. ? ah, ya sudahlah, mungkin Egi sudah mau membaur.
Kringgg ...!!! Akhirnya jam pelajaran pun dimulai. Hari ini kami belajar Biologi tentang klasifikasi makhluk hidup dan salah satu materi yang paling aku sukai.
Tak terasa sekarang sudah waktunya untuk istirahat, seperti biasa aku segera pergi ke kantin. Tetapi, ketika aku ingin mengajak Egi, Putri menarikku dan mengajakku ke kantin. Aku berbalik melihat ke arah Egi, yang juga sedang melihat ke arahku. Tak ada senyuman yang aku lihat darinya. Dan tanganku belum saja lepas dari genggaman Putri.
“Bang, baksonya 2 ya.” Seru Putri kepada Abang tukang Bakso di kantin.
“Bakso?”
“aku yang traktir, deh”
“Oh, okeyy..”
Kami menunggu pesanan di tempat duduk. Aku duduk di depan Putri.
2 menit kemudian ...
“Ini neng, baksonya sudah jadi, silahkan menikmati” kata abang Tukang Bakso seakan sedikit menggoda
“Makasih bang..” kata kami berdua besamaan ..
Sementara, aku mengaduk baksonya agar tercampur dengan saosnya, aku melihat Egi di sana. Ia sedang duduk bersebelahan dengan Mira. Aku memutuskan untuk memanggil Egi. Tapi, ia hanya melihatku dan tersenyum kecil. Belum sempat aku untuk membalas senyumannya tapi ia sudah langsung beranjak pergi. Aku menjadi tambah bingung. Apa mungkin, ia marah kepadaku? Tapi kalau dia marah, kenapa dia tersenyum? Aku jadi bingung.
“Ca? Kamu lagi ngeliat siapa?” tanya Putri yang seolah tak sedang  diperhatikan.
“Ehh,, nggak kok, nggak ngeliat siapa-siapa.”
Dia mengangguk sekali. Tapi disisi lain, aku masih bingung tentang Egi. Sambil makan aku juga terus memikirkan tentang Egi. Sepertinya dia berubah.
Regita Ramdani yang selama ini aku kenal tak pernah jadi semisterius ini. Kalau pun dia punya masalah, pasti dia cerita sama aku. Bukannya malah menjauhi aku.
Akhirnya, bel yang keempat pun berbunyi. Tandanya ini sudah jam pulang. Senang rasanya bisa pulang. Ketika berjalan keluar, aku melihat Egi di pagar sekolah sana. Aku ingin mengajaknya pulang bersama, tapi sekali lagi Putri tiba-tiba menghalangku dan menarikku menuju ke CR-V silvernya yang sudah lama menunggu. Kami berjalan melewati Egi. Mataku mengarah ke Egi. Dan matanya juga begitu. Dia tersenyum kecil kepadaku, dan kali ini aku sempat membalasnya.

1 minggu kemudian ....

Tak terasa semakin hari aku dan Putri jadi sering jalan bersama, kami semakin menjadi dekat, dan kembali seperti dulu lagi. Dan karena kedekatanku dengan Putrilah yang membuatku semakin lupa akan Egi. Tetapi, suatu hari tiba-tiba saja pikiranku tertuju pada Egi. Aku menjadi sangat merindukannya. Sudah hampir seminggu ini dia tak lagi masuk sekolah. Dan setiap aku menelponnya, nomornya selalu tak bisa dihubungi. Aku sangat khawatir. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan? Atau mungkin, aku bisa pergi ke rumahnya untuk memastikan dia tidak papa. Mmm, baiklah, aku akan pergi ke rumahnya.
Rumah kami ada dalam satu wilayah kompleks perumahan Permata dan terletak berdekatan. Tapi, tak tahu kenapa, aku menjadi sedikit ragu-ragu. Aku merasa ada sesuatu yang buruk. Padahal rumah Egi tinggal 100 m lagi di depanku. Aku sempat berpikir untuk berbalik dan pulang. Tetapi, akhirnya dengan keyakinan, aku tetap menuruskan langkah kakiku dengan tergesa-gesa.
Akhirnya aku sampai di depan rumahnya. Tetapi, aku tak melihat Egi. Dan rumahnya tampak sangat sepi. Biasanya jam segini ia sedang bermain dengan adiknya. Aku hanya melihat Mbak Ijah (pembantu di rumahnya Egi). Sepertinya ia sedang mengepak barang-barang ke dalam kardus-kardus besar. Aku bingung. Akhirnya aku mendekati Mbak Ijah dan menyapanya.
“Mbak, Eginya ada?”
Mbak Ijah masih tetap mengepak, seakan ia tak mendengarku. Aku memanggilnya lagi. Kali ini aku akan menepuk bahunya.
“Mbak Ijah, Eginya ada?”
Akhirnya mbak Ijah, berbalik dan menatapku dengan wajah terkejut.
“Eh, ada mbak Ica. Ada apa mbak ?”
“Eginya ada mbak ?”
“ehh.,, egi ?”
“iya, Egi. Ada mbak?”
Mbak Ijah berhenti menatapku. Ia menunduk seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku menjadi tambah bingung. Dan sekali lagi aku menepuk bahu Mbak Ijah dan memanggilnya. Tetapi, mbak Ijah tidak menjawabku walau ia sedang menatapku. Ia langsung mengambil tanganku, dan menarikku ke dalam rumah. Aku melihat dalam rumahnya yang tampaknya sedang di bereskan dan sepertinya tampak terbungkus dengan kain putih.
“Mbak, ada apa ini? Kok rumahnya kebungkus, sih?” tanyaku penasaran.
Mbak Ijah tidak menjawabku, ia hanya tetap menarikku menuju ke atas. Dan sepertinya menuju ke kamar Egi. Ketika, aku mbak Ijah membuka pintu, aku melihat kamar itu kosong. Tak ada apa pun yang tersisa. Hanya saja ada selembar kertas yang tertinggal di sana. Mbak Ijah mengambil kertas itu. Dan memberikannya kepadaku.
“Ini, mbak Egi titip pesan, dia bilang kalau ada mbak Ica datang tolong berikan surat ini.”
“surat? Surat apa ini?”
“buka aja mbak.”
Akhirnya dengan penasaran setengah mati, aku membuka surat putih itu. Aku membukanya dengan perlahan-lahan. Sampai-sampai..
“Mbak ica, cepatan buka, apa isinya ?”
“Iya iya, aku buka” Aku membuka dan membacakannya di depan Mbak Ijah.

“ Dear Ica...
Saat kamu baca surat ini, aku sekarang udah di Kalimantan. Aku pindah karena mama dan papa aku ditugaskan untuk bekerja di sini. Dengan terpaksa aku juga harus ikut. Sebenarnya, aku bisa sih, untuk tetap tinggal di Jakarta sama Mbak Ijah. Tapi, aku rasa itu bakal ngerepotin dia. Apalagi, dia sekarang lagi hamil. Jadi, rasanya itu gak mungkin.
Dan maafin aku ya. Karena aku udah ganti nomor dengan sengaja, gak pernah jemput kamu lagi, gak mau ngomong sama kamu lagi, dan yang paling terakhir ngejauhin kamu. Itu semua aku lakuin karena aku punya alasan. Kan aku mau pindah, jadi kalau aku ngelakuin itu, nanti aku gak terlalu merasa kehilangan kamu. Begitu juga dengan kamu. Kamu juga jadi gak terlalu kehilangan aku. Dan senyuman kecil itu, adalah sedikit dari tanda perpisahan aku. Aku harap kamu dapat mengerti.
Ok, anyway, kamu juga udah punya sahabat baru, kan? si Putri. Kayaknya dia baik sama kamu, dia akan menjagamu saat aku gak ada. Aku harap dia bisa ngegantiin aku untuk jadi sahabat kamu.
Oh ya, makasih ya, selama ini kamu udah mau jadi sahabat yang terbaikku. Aku nggak akan mgelupain kamu. Dan aku harap kita bisa ketemu lagi. Bye!”
Salam Sayang               

                                             Egi                       

Itulah Egi. Hanya selembar surat dan kenangan yang dapat ia tinggalkan.
Aku akan menyimpan surat ini dan semua kenangan yang telah terjadi di antara kami. Aku akan menunggu, sampai kapan pun, sampai kami dapat bertemu lagi di kemudian hari.

2 komentar:

  1. awalx cuman iseng ja mw baca,,
    tpi ternyata setelah d baca,sperti terbawa sama alur ceritanya... hmm baguss,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. oh ya? respon yg bagus. adek gue yg bikin cerpen ini tahun lalu. buat tugas drama gitu

      Hapus